Perencanaan rumah susun merupakan suatu upaya dan kegiatan untuk mengkoordinasikan perkembangan kota, termasuk di dalamnya perencanaan kota. Hal ini berkaitan dengan jumlah penduduk di suatu kota yang semakin meningkat sedangkan kondisi lahan yang dibutuhkan untuk pembangunan suatu rumah sudah semakin sedikit. Untuk itu perencanaan rumah rusun ada yang mana pembangunannya vertikal keatas dan dapat dihuni oleh banyak penduduk.
Rusun adalah sesuatu yang baru bagi masyarakat, cukup banyak permasalahan yang menyangkut pengelolaan rumah susun. Permasalahan penghunian datang dari kenyataan bahwa menghuni rumah susun masih dirasakan sebagai bentuk budaya baru yang memerlukan waktu penyesuaian. Perbedaannya, rumah susun terdiri dari beberapa lantai hunian, merupakan bentuk perubahan hidup yang biasa melekat dengan tanah yang akan merubah pola interaksi sosialnya. Kendala lain adalah masalah penghunian , pada awal penghunian sudah diadakan seleksi sesuai dengan target sasasan, yaitu masyarakat menengah ke bawah.
Pembangunan rumah susun ditujukan terutama untuk tempat hunian, khususnya bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Namun demikian pembangunan rumah susun harus dapat mewujudkan pemukiman yang lengkap dan fungsional, sehingga diperlukan adanya bangunan gedung bertingkat lainnya untuk keperluan bukan hunian yang terutama berguna bagi pengembangan kehidupan masyarakat ekonomi lemah. Oleh karena itu dalam pembangunan rumah susun yang digunakan bukan untuk hunian yang fungsinya memberikan lapangan kehidupan masyarakat, misalnya untuk tempat usaha, pertokoan, perkantoran, dan sebagainya.
Studi Kasus adalah pada rencana pembangunanan Tol Tengah Surabaya (TTS) yang akan dibangun mulai dari Bundaran Waru hingga Moro Krembangan, melintasi tengah Kota Surabaya. Pembangunan ini memakan biaya sampai Rp 9 T yang ditanggung oleh investor namun harus merelokasi 4.500 rumah tangga ke tempat yang layak. Jika pembangunan tol dan relokasi ini benar-benar dilaksanakan maka harus menginstalasi ulang jaringan PDAM, PLN dan Telekomunikasi yang juga tidak menggunakan biaya yang sedikit.
Relokasi warga korban pembangunan tol ini direncanakan akan dipindahkan ke rusun atau apartemen murah, padahal akhir-akhir ini biaya retribusi dari rusun direncanakan juga akan naik. Dengan adanya hal demikian, tentunya warga juga harus berpikir ulang jika memang dipindahkan ke rusun. Walaupun dijanjikan bahwa pembangunan rusun ini ditanggung investor, tapi bagaimana dengan biaya retribusi tiap bulan/tahunnya? Sebagai acuan saja, warga Rusun Randu yang merupakan bekas pengggusuran stren kali Jagir, Wonokromo saat ini sedang dibingungkan dengan masalah pembayaran uang sewa. Saat proses penggusuran, warga dijanjikan akan digratiskan selama 10 tahun, namun faktanya, baru 1,5 tahun Pemkot sudah berencana menaikkan tarif sewa rusun.
Dalam studi kasus korban relokasi TTS ini, ada pihak-pihak yang awalnya telah bertentangan atau konflik,yakni dari pihak DPRD yang pro TTS dan pihak akademisi, Pemkot, dan korban relokasi yang kontra, sebenarnya yang menjadi pertimbangan adalah dampak pembangunan TTS yang diterima oleh korban relokasi nantinya, mereka yang akan dipindahkan ke rusun belum tentu mendpatkan penghidupan yang lebih baik dari tempat tinggal sebelumnya, resikonya juga tinggi terkait faktor sosial dan ekonomi.
Oleh karena itu solusinya adalah sehingga kedua belah pihak yang memiliki konflik butuh memanajemeni konflik yang ada dan konflik ini bisa menggunakan metode join problem solving untuk menyelesaikan konflik yang ada. Metode ini diharapkan dapat menyelesaikan konflik yang terjadi terkait pembangunan TTS dengan cara win-win solution antara pihak pro dan kontra agar tidak ada pihak yang dirugikan khususnya korban relokasi.
Ayo lagi!
9 tahun yang lalu